17 Jan 2013

"Financial Fair Play" , Guyonan Terbaru PSSI ?

0 komentar
 
Foto: Dok.Okezone 

Setelah Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) terbukti tidak peduli aturan club deposit sebagai langkah untuk melindungi hak pemain di Indonesia Super League (ISL), PSSI justru kebablasan. PSSI mengeluarkan statement soal pemberlakukan financial fair play untuk Indonesian Premier League (IPL).

Bicara Financial Fair Play, saya jadi ingat klub-klub kaya raya Eropa. Ada Manchester City, Paris Saint Germain, Chelsea, atau Real Madrid. Mereka dianggap sebagai klub yang sangat royal dalam membeli sekaligus menggaji pemain hingga sangat mengkhawatirkan karena dianggap tak kompetitif.

Financial Fair Play jelas bertujuan agar mereka tidak jor-joran dalam menghamburkan uang. Entah mendapat 'wangsit' dari mana, tiba-tiba Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus lewat rilis PSSI mengeluarkan rencana bakal memberlakukan aturan itu di IPL musim ini. Iya, di kompetisi IPL yang musim lalu pailit itu.

Begini bunyinya, "Batasan maksimal pengeluaran klub adalah Rp12 miliar. Prosentase pengeluaran dari total Rp 12 miliar tersebut, 60 persennya untuk pembayaran gaji pemain. Sedangkan 40 persen lainnya untuk operasional. Sehingga, jika klub tidak ingin gulung tikar harus berpatokan pada peraturan tersebut."

Saya sungguh gagal paham, statement Sihar itu saking menghayati sepakbola Eropa atau benar-benar untuk memajukan klub-klub IPL. Mungkin sebagian besar pecinta bola sepakat Financial Fair Play sudah waktunya ditegakkan di Eropa sana agar klub-klub kaya tidak semakin gelap mata.

Tapi, di Indonesia? Betapa teganya PSSI bicara kontrol pengeluaran keuangan di saat klub-klub tengah megap-megap tercekik hutang dan tidak memiliki uang. Dengan enteng Sihar menyatakan klub IPL tidak diperbolehkan belanja melebihi Rp12 miliar untuk semusim, tanpa mengukur realita di lapangan.

Statement itu benar-benar menjadi sindiran yang kejam bagi klub-klub IPL. Sihar seakan menganggap klub di bawah PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sudah memiliki modal mewah, sehingga sudah saatnya dibatasi. Padahal di luar sana fakta justru sebaliknya.

Jangankan untuk membatasi belanja dan gaji klub, Lha.. klub saja bingung mencari duit. Lihat saja Persibo Bojonegoro si juara Piala Indonesia 2012. Untuk seleksi pemain saja harus berhutang uang receh pada Bupati. Untuk kontrak pemain juga belum ada. Nah, terus apa yang mau dikontrol jika uang saja tidak punya?

Konsorsium Mitra Bola Indonesia (MBI) yang memborong saham klub-klub IPL dan Divisi Utama pun belum memberikan dana kepada klub. Saya hampir tak percaya jika yang muncul di otak PSSI adalah Financial Fair Play, bukan pengetatan aturan club deposit.  Menurut saya club deposit-lah yang bisa menjamin gaji pemain tak tertunggak.

Setelah klub memiliki deposit yang bagus, baru diterapkan Financial Fair Play untuk mengontrol deposit tersebut. Bukan tiba-tiba bicara muluk soal Financial Fair Play sedangkan klub-klub masih dalam kondisi bangkrut. Dalam situasi seperti ini Financial Fair Play tak akan berguna.

Sebab yang paling manjur menangkal macetnya gaji pemain adalah ketersediaan uang di klub, yang idealnya sudah dipenuhi ketika kompetisi hendak bergulir. PSSI sama saja membodohi publik dengan istilah-istilah mentereng yang nyatanya tak berguna untuk memajukan sepakbola.

Apakah PSSI bisa menunjukkan klub IPL yang sanggup berbelanja di atas Rp12 miliar? Saya tidak yakin bisa. Kalau pun bisa paling satu-dua klub saja. Walaupun sedih, jujur harus diakui IPL adalah kumpulan klub-klub miskin dan bangkrut, dengan penyandang dana (konsorsium) yang mulai merasakan bagaimana pahitnya mengelola klub sepakbola Indonesia.

Jika tidak ada klub yang mampu belanja di atas Rp12 miliar, lantas buat apa bicara Financial Fair Play. Tak ada gunanya. Menurut saya PSSI atau Sihar Sitorus lebih bagus jika diam daripada mengeluarkan statement yang justru menyakiti klub-klub yang kini mati-matian bertahan hidup.


Leave a Reply